’Tiada tempat yang lebih buruk, yang dipenuhi anak Adam daripada  perutnya, cukuplah bagi mereka beberapa suap yang dapat menyambung  hidupnya, jika hal itu tidak bisa dihindari maka masing-masing sepertiga  bagian untuk makanannya, minumnya dan nafasnya.” (HR: Ahmad,  An-Nasaa’i, Ibnu Majah dan At-Tirmidzi )
Sahabat Rumah  yatim Indonesia yang dicintai Allah SWT, ada rumus untuk selalu sehat  sepanjang hidup : "Makan hanya ketika lapar, dan berhenti makan sebelum  kenyang". Tidak hanya menyangkut tubuh, tapi juga keseluruhan mental  sejarah. Ia adalah aplikasi sekadar teori keilmuan tentang keefektifan  dan efisiensi.
Selama ini pemahaman-pemahaman nilai budaya  kita cenderung mentabukan perut. Orang yang hidupnya terlalu  profesional dan hanya mencari uang, kita sebut "diperbudak oleh perut".  Para koruptor kita gelari "hamba perut" yang mengorbankan kepentingan  Negara dan rakyat demi perutnya sendiri.
Padahal ia  bukanlah hamba perut. Sebab, kebutuhan perut amat sederhana dan  terbatas. Ia sekadar penampung dan distributor sejumlah zat yang  diperlukan untuk memelihara kesehatan tubuh. Perut tidak pernah  mempersoalkan, apakah kita memilih nasi pecel atau pizza, lembur kuring  atau masakan Jepang.
Yang menuntut lebih pertama-tama  adalah lidah. Perut tidak menolak untuk disantuni dengan jenis makanan  cukup seharga seribu rupiah. Tetapi lidah mendorong kita harus  mengeluarkan sepuluh ribu, seratus ribu atau terkadang sejuta rupiah.
Mahluk  lidah termasuk yang menghuni batas antara jasmani dengan rohani. Satu  kaki lidak berpijak di kosmos jasmani, kaki lainnya berpijak di semesta  rohani. Dengan kaki yang pertama ia memanggul kompleks tentang rasa dan  selera; tidak cukup dengan standar 4 sehat 5 sempurna, ia membutuhkan  variasi dan kemewahan. Semestinya cukup di warung pojok pasar, tapi  bagian lidah yang ini memperkuda manusia untuk mencari berbagai jenis  makanan, inovasi, dan paradigma teknologi makanan, yang dicari ke  seantero kota dan desa. Biayanya menjadi ratusan kali lipat.
Dengan  kaki lainnya lidah memikul penyakit yang berasal dari suatu dunia  misterius yang bernama mentalitas, nafsu, serta kecenderungan  -kecenderungan aneh yang menyilati budaya manusia. Makan yang dalam  konteks perut hanya berarti menjaga kesehatan, di kaki lida itu  diperluas menjadi  bagian dari kompleks kultur, status sosial, gengsi,  foedalisme, kepriyayian, serta penyakit-penyakit kejiwaan komunitas  manusia lainnya.
Kecenderungan ini membuat makan tidak  lagi sekedar makan dengan konteks perut dan kesehatan tubuh, melainkan  dipalsuan, dimanipulir atau diartifisialkan menajadi urusan kultur dan  peradaban yang biayanya menjadi sangat mahal.
Budaya  artifisialisasi makan ini dieksploitasi dan kemudian dipacu oleh etos  industrialisasi segala bidang kehidupan, serta disahkkan oleh  kepercayaan budaya makan, pembaruan teknologi konsumsi, jenis  makanannya, panggung tempat makannya, nuansanya, lagu-lagu pengiringnya,  pewarnaan meja kursi, dindingnya hingga karaokenya.
Artifisialisasi  budaya makan itu akhirnya menciptakan berbagai ketergantungan manusia,  sehingga agar selamat sejahtera dalam keterlanjuran ketergantungan itu,  manusia bernegosiasi di bursa efek, menyunat uang proyek, memborong  barang-barang, bahkan berperang membunuh satu sama lain.
Padahal perut hanya membutuhkan "makan ketika lapar dan berhenti makan sebelum kenyang".
Maka  yang bernama "makan sejati" ialah makan yang sungguh-sungguh untuk  perut. Adapun yang pada umumnya yang kita lakukan selama ini adalah  "memberi makan kepada nafsu". Perut amat sangat terbatas dan Allah  mengajarinya untuk tahu membatasi diri. Sementara nafsu adalah api yang  tiada terhingga skala pembesaran atau pemuaiannya. Jika filosofi makan  dirobek dan dibocorkan menuju banjir bandang nafsu tidak terbatas, jika  ia diartifisialkan dan dipalsukan dan tampaknya itulah satu bahan utama  berbagai konflik dan ketidakadilan sejarah ummat manusia, maka  sesungguhnya itulah contoh paling konkret dari terbunuhnya efisiensi dan  keefektifan.
Rekayasa budaya makan pada masyarakat kita,  dari naluri sehari-hari hingga aplikasinya di pasal-pasal rancangan  pembangunan jangka pendek dan jangka panjang, mengandung inefisiensi  atau keborosan dan keserakahan, yang terbukti mengancam alam dan  kehidupan manusia sendiri, disamping sangat tdak efektif mencapai  hakikat tujuan makan itu sendiri.
Sahabat, terfikirkah  kita ketika kita sedang menikmati sebuah hidangan yang istimewa,  bersyukurlah kita karena ada sekian juta saudara kita yang bisa makan  apa adanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar